Meskipun tergolong komunikasi massa, namun gaya komunikasi di radio mengarah kepada komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Walaupun jumlah pendengarnya banyak, tetapi komunikator radio senantiasa menganggap komunikannya sebagai seorang individu yang akrab dengannya.
Sejarah radio
Sejarah perkembangan radio bisa dirunut sejak September 1899, ketika seorang penemu dan pengusaha Italia berusia 25 tahun bernama Gugleilmo Marconi mengenalkan “telegraf tanpa kabel” yang mengawali era komunikasi melalui gelombang udara. Sepanjang dua dasawarsa pertama abad kedua puluh, temuan Marconi itu melahirkan para operator radio amatir yang menganggap aktivitas mereka sebagai hobi. Kegemaran melakukan komunikasi antarpribadi dengan sesama operator radio amatir di tempat yang berjauhan itu selanjutnya bertambah dengan aktivitas tukar-menukar informasi singkat dan menyiarkan lagu-lagu.Perubahan fungsi radio amatir menjadi media penyiaran elektronik ditandai dengan didirikannya KDKA sebagai stasiun radio komersial pertama di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada tanggal 2 November 1920. Siaran radio siaran itu diawali dengan dukungan perusahaan pembuat peralatan radio Westinghouse Electric terhadap hobi Frank Conrad, salah seorang teknisinya yang gemar menyiarkan informasi singkat dan lagu-lagu dari gramafonnya melalui radio amatir pada tahun 1916. Setelah resmi mendapat izin melakukan siaran komersial, KDKA pun sukses meningkatkan penjualan pesawat radio sehingga menyemangati pabrik-pabrik radio lain mengikuti jejak Westinghouse Electric. Kalangan nonpabrikan radio yang selanjutnya berminat mendirikan stasiun radio adalah para penerbit koran yang berharap radio mampu mendistribusikan edisi elektronik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap mesin cetak dan truk distribusi.
Eksistensi radio
Radio siaran berkembang pesat selama dua dasawarsa berikutnya, sampai RCA memperkenalkan televisi “hidup” yang membuat pengunjung Pekan Raya New York 1939 terheran-heran. Televisi benar-benar merebut posisi teratas radio dalam teknologi komunikasi dengan media elektronik setelah CBS pada tahun 1951 mencoba siaran program televisi berwarna yang dilanjutkan dengan upaya serupa oleh RCA pada tahun 1954. Posisi radio belakangan ini semakin terpinggirkan dengan berkembangnya sistem world wide web pada teknologi komputer yang mempopulerkan media internet. Perkembangan pesat televisi dan Internet itu menyebabkan eksistensi radio sempat dikhawatirkan berada dalam ancaman.Namun kekhawatiran itu tak terbukti. Radio tetap mampu menempatkan diri sebagai media elektronik yang paling tersebar secara global. Bahkan jika dihitung dari jam dengar selama ini, radio diyakini sebagai media yang tetap paling banyak digunakan. Kalaupun eksistensi radio terancam, maka ancaman itu tak terkait dengan kompetisi dengan media elektronik lain tetapi lebih karena kurangnya perhatian dari pemerintah atau kurangnya profesionalitas orang radio sendiri. Padahal apabila radio tak lagi eksis, maka yang menjadi korban sejatinya adalah masyarakat, karena kehilangan salah satu jenis media massa andalan.
Koran, radio, televisi dan internet, pada akhirnya punya fungsi sendiri-sendiri dalam komunikasi massa. Sebagaimana disimpulkan W Philip Davinson, seorang sosiolog dari Columbia University, radio mampu memberikan peringatan dini atau alarm kepada masyarakat. Radio cenderung menjadi media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi. Sedangkan televisi sebagai media audio visual tergolong sebagai media yang melibatkan emosi atau involving medium. Sementara itu, media cetak mampu menangani hal-hal yang kompleks dan menyajikan informasi secara lebih lengkap. Ketiga jenis media massa itu memiliki fungsi sendiri-sendiri, sehingga tak aneh rasanya jika di antara ketiganya tidak saling mematikan.
Keunggulan radio
Radio selama ini dikenal sebagai media yang relatif murah, sederhana dan praktis namun mampu menyampaikan informasi-informasi yang mendidik dan menghibur secara intim, imajinatif, langsung dan cepat. Pengelolaan radio selama ini juga dikenal mampu menghidupkan iklim demokratis dan mampu memberi kejutan yang menyenangkan.Dianggap sebagai media massa yang relatif murah, karena dibanding dengan ongkos berlangganan media cetak ataupun harga pesawat televisi, harga pesawat radio lebih murah. Pendengar juga tidak dipungut bayaran untuk menerima siaran radio. Sementara bagi pengelolanya, siaran radio juga relatif lebih murah dan sederhana karena hanya membutuhkan sedikit sumber daya manusia.
Radio dianggap praktis karena pesawat radio umumnya portable sehingga bisa dinikmati di mana saja dan kapan saja. Pendengar radio juga tidak perlu bertahan di depan karya cetak seperti pembaca surat kabar atau di depan layar seperti pemirsa televisi. Dengan demikian pendengar bisa lebih lama menerima informasi dari radio karena tetap bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan lain.
Materi siaran radio juga lebih imajinatif karena penyiar lebih leluasa menciptakan theatre of mind di benak pendengarnya. Radio juga lebih mampu menyajikan suasana intim karena suara penyiar diterima pendengar secara pribadi sehingga tercipta komunikasi yang relatif lebih hangat dan akrab, seakan-akan tak ada jarak antara pendengar dengan penyiar.
Meski relatif lebih murah, sederhana dan praktis, tetapi siaran radio tetap mampu mengemban fungsi media massa pada umumnya untuk mendidik, menjadi media informasi, komunikasi dan kontrol sosial bagi masyarakat. Bahkan radio lebih leluasa mengemban fungsi menghibur karena leluasa menyajikan musik dan mampu memberi kejutan yang menyenangkan. Misalnya saja ketika lagu kesukaan seseorang tiba-tiba diputar di radio, kesannya tentu sangat berbeda ketimbang orang itu sengaja memutar kaset atau CD.
Kelemahan radio
Di sisi lain, radio adalah media auditif yang hanya bisa dinikmati dengan indera pendengaran sehingga informasi yang disampaikan pun hanya sekilas dengar. Materi siaran radio juga lebih sulit didokumentasikan oleh pendengarnya dibandingkan dengan materi sama yang dimuat di media cetak. Radio disebarluaskan atau disampaikan kepada pendengar melalui pemancar (transmisi) sehingga bisa saja mengalami gangguan teknis ataupun terpengaruh kondisi alam yang berubah-ubah.Apabila salah kelola, keunggulan-keunggulan radio bisa juga menjadi titik lemahnya. Apabila gagal menciptakan theatre of mind di benak pendengarnya maka siaran radio bisa menjadi membosankan. Demikian pula apabila program-programnya tak disusun secara bijaksana dan independen maka radio akan gagal menjadi media informasi dan komunikasi yang mendidik dan mampu menjadi alat kontrol sosial.
Namun saat ini, kelemahan-kelemahan tersebut sudah semakin terkurangi seiring dengan semakin majunya teknologi yang dikuasai manusia. Dokumentasi siaran radio bukan lagi tak mungkin dilakukan karena semakin canggihnya komputer dengan server berkapasitas besar yang dimiliki stasiun radio. Halangan teknis dan pengaruh alam bukan hanya diatasi dengan meningkatkan kemampuan peralatan transmisi radio, tetapi juga sudah bisa diabaikan dengan adanya sistem Internet. Bahkan dengan sistem radio streaming yang terakses dalam internet, siaran radio bisa didengarkan di wilayah yang sangat jauh pada belahan Bumi lain. Dokumentasi siaran radio yang tersimpan di server stasiun radio juga bisa diakses melalui internet oleh setiap orang di muka Bumi melalui sistem radio on dermand seperti yang tersedia di situs web suarasurabaya.net.
Efektivitas radio
Lebih jauh lagi, jika dikelola dengan bijaksana maka radio selama ini efektif sebagai media informasi, komunikasi, pendidikan, kontrol sosial dan hiburan. Lebih-lebih karena kesadaran baca sebagian kalangan masyarakat terbilang masih rendah dibanding kebiasaan mendengar dan bertutur maka radio relatif lebih efektif untuk kalangan tersebut. Karena dianggap sama efektifnya dengan jenis media massa lain maka pada era Orde Baru silam peran radio juga dibatasi sebagaimana media massa lain.Sesuai fungsi di tangan para penggemar radio amatir, radio siaran pun bisa memuat informasi dan hiburan. Tetapi dengan kewajiban 14 kali relay siaran berita dari Radio Republik Indonesia –RRI, serta pelarangan membuat dan menyiarkan berita sendiri, maka selama era Orde Baru radio siaran diposisikan hanya menjadi sarana hiburan di samping sebagai saluran propaganda pembangunan dan pengawasan politik penguasa.
Itu pula pasalnya, selama era Orde Baru tak ada radio yang menyelenggarakan siaran berita. Hasrat menyampaikan berita, disalurkan dengan mengemasnya sebagai paket informasi atau nama lain. Jurnalisme radio di Indonesia baru berkembang dengan terbitnya SK Menteri Penerangan Nomor 134/SK/Menpen/1998 yang memperbolehkan radio dan televisi non RRI dan TVRI menyusun berita sendiri, me-relay media asing dan menghapus kewajiban relay 13 kali dalam sehari.
Maka kemudian bermunculan stasiun radio yang menjadikan news atau berita sebagai sajian utama, seperti Radio El Shinta, Suara Surabaya, Trijaya dan banyak lagi lainnya, termasuk SOLOPOS FM yang pada 21 April 2004 memproklamasikan diri sebagai radio berita (news radio) pertama di kawasan eks Karesidenan Surakarta. Sajian utama sebagai ciri khas siaran stasiun radio lazim disebut sebagai format stasiun, format siaran, format program atau format radio.
Format radio
Bagi stasiun radio, format siaran merupakan modal dalam membangun citra dan identitas diri. Format radio menjadi acuan utama untuk memenuhi kebutuhan khalayak sasaran siaran yang tersegmentasi atas usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang sosial dan ekonomi. Program acara, sajian musik dan materi siaran lain, sampai dengan kepribadian penyiar harus selalu mengacu format radio yang dipilih pengelolanya.Format pemberitaan hanyalah salah satu dari beragam format radio. Setidaknya, ada empat format utama yang dikenal selama ini, yakni format pemberitaan, radio percakapan, radio musik, dan radio dengan format khusus. Demi pencitraan terhadap pendengar dan pemasang iklan, stasiun-stasiun cenderung memilih format siaran sekhusus mungkin. Karena itulah dari empat format utama itu, selanjutnya muncul berbagai format ataupun subformat.
Radio siaran bisa mengacu satu format secara konsisten sepanjang waktu siaran, namun bisa pula mengacu sejumlah format yang berbeda sepanjang waktu siaran. Untuk mengacu sejumlah format sekaligus, pengelola stasiun radio bisa membagi waktu siaran (dayparts) sesuai segmen pendengar yang disasar.
Karena selama era Orde Baru radio siaran diposisikan hanya menjadi sarana hiburan, kebanyakan pengelola stasiun radio di Indonesia memilih musik sebagai format radio mereka. Namun ada pula yang menggabungkannya dengan format perbincangan atau format pemberitaan untuk waktu tertentu sesuai khalayak sasaran siaran yang tersegmentasi atas usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang sosial dan ekonomi.
Regulasi radio
Reformasi politik di Indonesia pada tahun 1997 berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan radio siaran di negeri ini. Bukan hanya karena Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 134/SK/Menpen/1998 yang menghapus kewajiban 13 kali siaran berita RRI dalam sehari, tetapi pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid belakangan juga menghapuskan keberadaan Departemen Penerangan yang selama Orde Baru digunakan untuk mengarahkan media massa sesuai dengan kepentingan penguasa.Era otonomi daerah melengkapi reformasi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga membuat situasi semakin kondusif untuk tumbuh berkembangnya radio siaran. Paket undang-undang otonomi daerah itu diikuti dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi yang memungkinkan pemerintah daerah memberikan izin penggunaan frekuensi bagi radio dan televisi lokal.
Maka selanjutnya, stasiun televisi dan radio pun tumbuh lebih subur daripada sebelumnya. Intervensi pemerintah terhadap radio swasta yang ditandai monopoli pemberitaan demi status quo dengan kewajiban relay siaran berita RRI, serta loyalitas mayoritas radio siaran terhadap Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRRSNI) yang dipimpin oleh salah seorang ketua partai paling berpengaruh pun runtuh. Pengelola radio yang bebas dari kungkungan Orde Baru bermunculan, jumlah stasiun radio menjadi berlipat ganda. Hingga tahun 2005, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah mencatat 185 radio yang beroperasi di jalur FM, di wilayah kerjanya.
Radio komersial
Masing-masing stasiun radio itu tentu harus memenuhi kebutuhan biaya operasional yang tidak sedikit. Selain harus bermodalkan ruangan studio serta piranti siar, pengelola radio juga mengeluarkan biaya untuk listrik dan sumber daya manusia setiap kali siaran. Seperti stasiun radio siaran pertama, KDKA di Pittsburgh, Amerika Serikat, stasiun radio siaran bersifat komersial. Artinya, siaran radio dimaksudkan untuk diperdagangkan. Karena udara adalah barang bebas maka komersialisasi radio diwujudkan dalam bentuk materi siar yang dibeli oleh pihak ketiga untuk menyampaikan promosi produk atau jasa.Dengan banyaknya jumlah stasiun radio, maka persaingan untuk mendapatkan pemasang iklan tentu saja semakin ketat. Hanya stasiun radio yang didirikan demi kepentingan tertentu saja yang tidak harus bersaing mendapatkan pemasang iklan demi kesinambungan pemenuhan biaya operasionalnya. Stasiun radio yang didirikan guna kepentingan dakwah misalnya, tidak mutlak harus mendapatkan pemasang iklan karena biaya operasionalnya telah tercukupi oleh sumbangan jemaah.
Peran pendengar
Dalam persaingan untuk mendapatkan pemasang iklan, efektivitas siaran stasiun radio dalam mengarahkan opini massa menjadi hal mutlak diperhitungkan. Karena itu, jumlah pendengar selanjutnya menjadi patokan menentukan layak atau tidaknya stasiun radio dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Data tentang jumlah pendengar senantiasa dipaparkan pengelola stasiun radio untuk memikat pemasang iklan.Mula-mula data itu tercukupi dengan catatan jumlah pendengar yang berinteraksi dengan penyiar di studio. Namun selanjutnya dikenal survei oleh lembaga independen yang menghasilkan rating yang menunjukkan popularitas suatu stasiun radio atau acaranya. Rating belakangan lebih dipercaya sebagai patokan untuk menentukan layak atau tidaknya stasiun radio atau acaranya dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Hal itu bisa dimaklumi karena adanya dua karakteristik pendengar radio, yakni kelompok pendengar aktif dan kelompok pendengar pasif.
Trimurti Widayatno, seorang praktisi radio di Yogyakarta mengidentifikasi kelompok pendengar aktif sebagai vocal minority, sedangkan kelompok pendengar pasif sebagai silent majority. Disebut vocal minority karena kelompok pendengar aktif biasanya cenderung menonjolkan popularitas diri atau kelompoknya dengan melibatkan diri di setiap acara, cepat bereaksi apabila ada perubahan pada siaran radio, bahkan suka membentuk dan terlibat dalam organisasi pendengar, namun sesungguhnya jumlah mereka terbilang sedikit dibanding seluruh pendengar radio yang ada. Sebaliknya kelompok pendengar pasif disebut silent majority karena biasanya kelompok ini hanya mendengarkan siaran radio apabila sesuai dengan seleranya, cenderung menghindari popularitas dan tidak ingin terlibat dalam organisasi pendengar, namun sebenarnya jumlah mereka sangat banyak.
Rating
Atas kenyataan itu, pemasang iklan tentu tidak bisa mengandalkan data pendengar aktif yang dimiliki oleh stasiun radio. Popularitas suatu stasiun radio berdasarkan data lembaga independen yang melakukan survei presepsi masyarakat lebih layak digunakan sebagai acuan menentukan layak atau tidaknya stasiun radio dimanfaatkan untuk kepentingan komersial.Untuk menggapai popularitas itu, pengelola stasiun radio mutlak melakukan analisis dan perencanaan yang cermat untuk menentukan format siaran sebagai modal dalam membangun citra dan identitas stasiun radionya. Format siaran itu selanjutnya menjadi acuan dalam menentukan program acara, sajian musik dan materi siaran lain, bahkan juga kepribadian penyiar. Muara dari pengejawantahan format siaran itu adalah kemampuan memikat cukup banyak pendengar sebagai sasaran beriklan atau mencapai kepentingan penyandang dana operasional siaran radio.
Atas dasar kenyataan di atas, persaingan memikat pemasang iklan atau kepercayan penyandang dana operasional siaran radio, sejatinya adalah persaingan menentukan format siaran dan pengejawantahannya. Selanjutnya, pendengarlah yang berhak menentukan pilihan terhadap stasiun radio sesuai kebutuhan mereka. Kelompok pendengar yang hanya mengandalkan radio sebagai media hiburan tentu akan memilih radio dengan format musik atau format khusus yang menyajikan cukup banyak musik dan acara hiburan lain. Sedangkan kelompok pendengar yang mengandalkan radio sebagai media informasi tentu akan memilih radio dengan format pemberitaan atau format khusus yang menyajikan cukup banyak berita dan acara informasi lain.
Melibatkan pendengar
Dengan memenuhi kebutuhan kelompok pendengar tertentu, radio menjadi bermanfaat bagi mereka. Namun manfaat maksimal radio sejatinya muncul apabila radio mampu mengarahkan emosional pendengarnya. Radio memang memiliki sifat khas dibanding media massa lain dalam menggalang opini massa, yakni radio mampu menciptakan kekuatan emosional bagi pendengarnya. Dengan melibatkan emosi pendengar itu, radio dalam banyak kasus mampu mengerahkan dan mengarahkan pendengar untuk bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat.Sejarah Indonesia misalnya, mencatat nama Bung Tomo sebagai pembakar keberanian dan semangat arek-arek Surabaya lewat corong Radio Be-Pri (BPRI - Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pada tanggal 9 November 1945 malam agar bersama-sama mencegah masuknya tentara Belanda (NICA) yang bermaksud menjajah kembali Indonesia dengan cara membonceng tentara Sekutu. Pidato radio Bung Tomo itu menggerakkan ribuan arek Surabaya mengangkat senjata seadannya demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan tiga bulan sebelumnya.
Contoh lain kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengarnya adalah pada gerakan People Power di Filipina pada bulan Februari 1986 saat Kardinal Sin lewat Radio Veritas mengimbau rakyat Filipina turun ke Camp Aguinaldo dan Crame untuk melindungi Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile dan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Fidel Ramos yang membelot dari kubu Marcos. Ratusan orang Filipina –ada yang menyebut satu juta orang— tak bersenjata menjawab seruan Kardinal Sin dengan bergabung ke kedua kamp. Gerakan People Power itulah yang selanjutnya memaksa Presiden Ferdinand Marcos melepas kekuasaan.
Sebagai contoh lain, kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengarnya bisa dilihat pada peran Radio Jakarta News FM yang selanjutnya diikuti oleh Radio ElShinta, Radio Suara Metro, Radio Sonora dan Radio MSTri, selama bencana banjir di Jakarta pada tahun 2002. Jakarta News FM mengawali peranan dengan memandu warga untuk menghindari daerah-daerah banjir ketika berkendara di jalan raya. Langkah itu diikuti pula oleh sejumlah radio lain. Kabel telepon yang sebagian terputus akibat banjir menyebabkan banyak orang bertanya-tanya apakah wilayah kediaman sanak saudara mereka ikut terendam banjir atau tidak, dan radio mampu menjawab pertanyaan itu. Belakangan, warga kota menitipkan nasi bungkus dan air minum dalam kemasan kepada reporter radio-radio itu untuk disampaikan kepada para korban banjir yang kesulitan mendapatkan makanan.
Kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengarnya sejatinya tampak dalam keseharian interaksi pengelola stasiun radio dengan para pendengar. Para pendengar radio rela menghabiskan waktu dan dana untuk mengikuti kegiatan nonair berupa acara jumpa pendengar bahkan acara lebih besar yang disponsori produsen barang atau jasa. Pada radio berita seperti ElShinta atau Suara Surabaya, kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengar bahkan sudah mewujud dengan kerelaan pendengar memanfaatkan pulsa demi berbagi informasi dengan pendengar lain tentang peristiwa di sekitar mereka.
Pengelola radio
Peran masyarakat yang paling dominan untuk saling berbagi informasi tampak pada pendengar radio yang sedang berkendara di jalan raya. Mereka memanfaatkan radio untuk saling berbagi informasi tentang kondisi jalan yang mereka lalui atau peristiwa yang mereka alami di jalan, sehingga bisa dimanfaatkan sebgai panduan perjalanan bagi warga lain yang juga sedang berkendara di jalan raya. Bahkan pendengar radio bisa saling tolong menghadapi ancaman kejahatan di jalan raya.Pengerahan dan pengarahan pendengar untuk bersama-sama melakukan sesuatu, hanya bisa dilakukan oleh pengelola stasiun radio yang kreatif dan dipercaya oleh pendengarnya. Pengelola stasiun tak boleh setengah-setengah melayani pendengar yang bersedia terlibat dalam siaran ataupun acara yang digelar bukan dalam format siaran (nonair). Materi siaran maupun acara nonair juga harus tertata dan terencana sehingga mampu memuasi pendengar.
Informasi yang menjadi materi siar stasiun radio harus memenuhi syarat-syarat layak dan lengkap sebagai karya jurnalistik. Untuk menyiapkan materi siaran yang merupakan karya jurnalistik, maka jajaran pengelola stasiun radio bukan hanya dituntut mampu membawakan siaran di balik piranti siar di studio. Mereka juga harus dilengkapi awak redaksi yang pada masa lalui hanya dibutuhkan oleh RRI sebagai pemegang monopoli pemberitaan radio-radio di Indonesia.
Karena itu, jika sebelum dibukanya regulasi yang memungkinkan stasiun radio swasta membuat berita sendiri hanya dikenal fungsi penyiar (announcer) dan operator di jajaran pengelola stasiun radio, maka belakangan muncul fungsi-fungsi lain. Selain penyiar dan operator, di jajaran pengelola stasiun radio muncul pula fungsi reporter, penyusun naskah (scriptwriter) dan pembaca berita (newscaster). Bahkan karena radio dituntut mampu melayani pendengar yang berbagi informasi dengan pendengar lain, belakangan muncul pula fungsi news keeper atau gate keeper, bahkan juga on air editor yang berfungsi sebagai penerima dan penyeleksi informasi yang dianggap layak siar.
Acara radio
Seiring berlakunya regulasi yang memungkinkan stasiun radio swasta membuat berita sendiri, acara yang bisa disajikan pengelola stasiun radio juga semakin beragam. Sejumlah ragan acara yang semula hanya diproduksi RRI sebagai radio yang berhak membuat siaran berita, selanjutnya dikembangkan pula oleh para pengelola stasiun radio swasta. Bahkan dengan kreativitas yang sedikit lebih baik, para pengelola stasiun radio swasta mampu membuat acara-acara itu dengan lebih menarik dan tidak membosankan pendengar sehingga mampu bersaing dengan sajian serupa di televisi.Selama bertahun-tahun, RRI telah mengembangkan sejumlah format acara seperti uraian, majalah udara, feature, dokumenter, siaran pembangunan (development broadcasting unit), dan banyak lagi lainnya. Seiring dengan perkembangan selera masyarakat yang dipengaruhi pula oleh keberadaan tayangan audio visual siaran televisi, para pengelola stasiun radio terus menggali potensi radio untuk mengembangkan acara-acara sesuai karakteristik khas radio. Sandiwara radio yang sempat berjaya di Indonesia pada tahun 1980-an misalnya, dikembangkan menjadi sandiwara yang lebih akrab dengan melibatkan pendengar dalam penyusunan cerita.
Materi pemberitaan yang disajikan radio, tak lagi harus mengupas tuntas sehingga tertunda kelewat lama disampaikan kepada pendengar. Meskipun pola jurnalistik radio yang tidak berbeda dengan prinsip jurnalisme pada umumnya, tetapi sesuai ciri jurnalisme media elektronik, maka jurnalisme radio memiliki sifat imajinatif dan interaktif, metodologi reportasenya berbentuk on the spot reporting atau laporan langsung dari tempat kejadian, dan kemasan penyajiannya berbentuk breaking news atau berita sela. Dengan demikian, radio bakal bisa menempatkan diri sebagai media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi.
Selain berita, radio bisa pula menyajikan acara dalam format lain seperti wawancara, phone in, kuis, diskusi, tanya jawab, voxpops, laporan langsung dari lapangan, dan banyak lagi lainnya. Kelompok sajian acara itu, oleh Verdy Bagus Hendratmoko digolongkan sebagai karya jurnalistik di radio. Sebab format acara drama radio, musik, lawak/humor, kuis dan tips-tips info termasuk iklan dan iklan layanan masyarakat digolongkannya dalam kategori karya artistik.
Wawancara terbilang sebagai format yang paling banyak digunakan talk radio karena pada dasarnya wawancara adalah cara termudah dan membutuhkan proses penyuntingan yang lebih singkat daripada format lain. Diskusi serta tanya jawab tak jauh berbeda, kecuali pada jumlah alur penyajiannya.
Sedangkan phone in atau telepon pendengar adalah format radio yang sudah klasik. Format ini digunakan di seluruh dunia, dan pendengar menyukainya. Di saat yang sama, irama dan gaya acara phone-in dapat sangat berbeda dari satu stasiun ke stasiun lain. Acara phone-in sangat bergantung pada host di studio. Pendekatan kepada pendengar, cara host bicara kepada pendengar, cara menyampaikan lelucon kepada pendengar, opini host itu sendiri, kecepatan, dan sebagainya. Phone-in juga bisa menjadi perangkat yang sangat baik untuk berbagi informasi antarpendengar.
Sementara itu, vox-pops yang dilakukan untuk bertanya secara acak kepada banyak orang dengan pertanyaan yang sama bisa sangat menghibur dan sedikitnya memberi kesan apa yang sedang terjadi, mskipun jenis format ini bukan merupakan analisa yang andal terhadap kenyataan dan pendapat masyarakat. Vox-pops bahkan dapat diubah menjadi perangkat yang sangat penting dalam memperlihatkan kondisi masyarakat yang tak terbiasa menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Vox-pops memberi kesempatan yang baik untuk mengekspresikan satu pandangan dengan cara yang sempit. Untuk itu, vox-pops ideal digunakan sebagai perangkat ilustrasi, untuk memperlihatkan beragamnya pendapat.
Namun format yang paling menonjolkan potensi kekuatan radio sebenarnya adalah laporan langsung dari lapangan. Kejadian yang dramatis semisal demonstrasi, perang, kecelakaan dan sebagainya, bisa dilaporkan oleh reporter yang berada di lokasi san menjadi saksi mata bagi pendengar. Untuk melakukan laporan langsung dari tempat kejadian, reporter harus memiliki seluruh indera, baik itu indera untuk melihat, mendengar, membaui dan merasakan --dan melaporkan kesan-kesan kepada pendengar. Laporan langsung terbilang sulit dilakukan karena tak ada kesempatan untuk latihan. Sementara laporan terekam dapat dilatih dulu, dan disesuaikan. Bahkan jika skenarionya sangat dramatis, kerap laporan yang dipersiapkan bisa lebih berkualitas. Dalam kedua kasus itu, naluri yang tinggi terhadap aturan-aturan bercerita (story telling) dibutuhkan. Mungkin yang terpenting adalah kemampuan untuk menggambarkan dalam bahasa tutur harus tinggi. Laporan langsung dari lapangan juga terbuka untuk dipadukan dengan wawancara.
Naskah siar radio
Untuk tiap-tiap format acara, pengelola bisa melakukan persiapan siar yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Untuk berita, baik dalam bentuk laporan tunda maupun majalah udara, umumnya disusun naskah yang nantinya dibacakan oleh newscaster. Untuk feature dan dokumentasi biasanya disiapkan naskah untuk dibacakan oleh narator. Sedangkan sebagai panduan melakukan laporan langsung dari lapangan ataupun wawancara, diskusi dan tanya jawab di studio, reporter dan host sebaiknya menyiapkan catatan tentang hal-hal yang mungkin dibutuhkan saat siaran. Sedangkan untuk phone in, perlu dipastikan host cukup kreatif dan aspiratif menampung opini dan informasi antarpendengar.Format acara yang tergolong dalam kategori karya artistik juga berbeda-beda kebutuhan naskahnya. Drama radio, spot iklan dan iklan layanan masyarakat membutuhkan dukungan skenario layaknya sandiwara untuk kepentingan panggung ataupun film. Demikian juga halnya dengan lawak/humor, meskipun penyajian format acara ini bisa lebih kreatif sehingga penyajinya bisa spontan menambahi materi yang dimuat dalam skenario. Kuis butuh panduan penyampaian yang didasarkan pada ketentuan pelaksanaannya. Sedangkan acara musik, bisa digarap serius sebagai paket musik yang mendekati feature atau dokumentasi, tetapi bisa pula disajikan lebih bebas sesuai kesepakatan pendengar dan disc jockey.
Daftar Pustaka
• Antonius Darmanto, Teknik Penulisan Naskah Acara Siaran Radio, Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998.• Asep Syamsul M Romli, Broadcast Journalism: Panduan Menjadi Penyiar, Reporter & Script Writer, Penerbit Nuansa, Bandung, 2004.
• Roger Fidler, Mediamorfosis: Understanding New Media, Bentang Bentara, Februari 2003.
• Internews Indonesia, Link Pelatihan Radio - Internews Indonesia, http://www.internews.or.id/
• Masduki, Jurnalistik Radio: Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar, LKiS Yogyakarta, 2001.
• Masduki, Radio Siaran dan Demokratisasi, Penerbit Jendela Yogyakarta, 2003.
• UNESCO, Memperkuat Demokrasi dan Pemerintahan Yang Bersih Melalui Pengembangan Media di Indonesia - Komponen Pertama: Peningkatan Kemampuan Radio Lokal, panduan lokakarya, 1999.
• Rahmat Wibisono, Karya Jurnalistik di Radio, makalah pelatihan, 2004.
• Torben Brandt dan Eric Sasono, Memperkuat Demokrasi dan Pemerintahan Yang Bersih Melalui Pengembangan Media di Indonesia - Komponen Pertama: Peningkatan Kemampuan Radio Lokal, UNESCO, http://jakarta.unesco.or.id/LOCALRAD/BAHASA/SCHOOL/rformat/rformat.htm#top
• Trimurti Widiyatno, Bagaimana Menjadi Penyiar Radio yang Andal, makalah pelatihan, 2005
• Verdy Bagus Hendratmoko, Jurnalistik Radio, Sebuah Pengantar, makalah pelatihan, 2004.