Sabtu, 05 Desember 2009
Jurnalisme baru
Pemikiran Wolfe, lengkap dengan sederet berkembangnya penandaan para akademisi terhadap aneka genre jurnalisme yang terbilang membingungkan, ditularkan ke Indonesia oleh Andreas Harsono, peserta program Nieman Fellowship on Journalis di Universitas Harvard. Awal perkenalan itu memunculkan polemik. Ada anggapan, jurnalisme baru yang dirumuskan para akademisi AS itu tak lebih dari penggolongan yang tiada artinya mengingat sejak awalnya, jurnalisme telah mengenal nilai-nilai yang dirumuskan oleh Wolfe.
Polemik itu diawali pertanyaan Andreas terkait tidak berkembangnya jurnalisme sastra di Indonesia dalam dua mailing list yang diikuti banyak pekerja pers dan akademisi terkait. Polemik itu kini dicatat rapi oleh Andreas dalam blognya yang beralamat di http://andreasharsono.blogspot.com/2000/03/mengapa-jurnalisme-baru-ompong-di.html.
Seiring terbitnya buku Jurnalisme Investigasi, Jurnalisme Sastra, Menulis Feature maupun Jurnalisme Kontemporer karya dosen Universitas Islam Bandung, Septiawan Santana Kurnia yang gemar merangkum perkembangan jurnalisme AS lalu membumikannya dengan cita rasa Indonesia, perhatian akademisi Indonesia terhadap new journalism semakin menjadi-jadi. Investigation report dan literary journalism seperti menjadi mahkotanya.
Pola penyajian fakta sebagaimana dirumuskan Wolfe dan Johnson sebagai new journalism yang dilakukan sejumlah wartawan Indonesia sebelum era Reformasi pun digolongkan sebagai genre itu. Demi menunjukkan penerapan literary journalism yang diterjemahkan sebagai jurnalisme sastrawi, Andreas bersama Yayasan Pantau bahkan memuat jurnalisme gaya itu dalam Majalah Pantau yang tak berumur panjang. Sebagian di antara naskah itu lalu dimuat ulang dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
Diakui atau tidak, pemikiran jurnalis AS dalam buku-buku itu diterima dengan baik oleh sebagian wartawan Indonesia dan mempengaruhi perkembangan pers Indonesia setelah era kebebasan pers yang mengiringi Reformasi. Untuk memahami pemikiran-pemikiran itu, coba tilik http://butuhspasi.blogspot.com/2009/05/jurnalisme-gonzo-dalam-bingkai.html, yang secara cermat disusun Idhar Resmadi berdasarkan rangkuman buku Andreas dan Septiawan.
Bachtiar Hakim Nitidisastra secara telaten bahkan merangkum buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan dengan cukup lengkap dalam http://bachtiarhakim.wordpress.com/2008/06/05/jurnalisme-sastra-septiawan-santana/. Sedangkan buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat ditampilkannya pada http://bachtiarhakim.wordpress.com/2008/06/04/jurnalisme-sastrawi-andreas-harsono/.
Namun sesuai pedoman keterampilan wartawan yang dianut internal perusahaan pers maupun kompetensi wartawan yang disusun Dewan Pers sebagai institusi yang mengemban peran dalam penerapan swaregulasi pers, semua standar kompetensi wartawan itu sejatinya tak diurai dengan demikian rumit.
Wartawan Indonesia sesuai dengan standar kompetensi itu, memang dituntut menguasai berbagai keterampilan yang jadi polemik membingungkan itu. Tak harus langsung mahir, bahkan Dewan Pers membaginya dalam tiga tahapan meski pada akhirnya setiap wartawan senantiasa dituntut mahir mengumpulkan fakta secara komprehensif lalu menyajikannya secara memikat bagi publik.Dengan kata lain, jika menganggap perlu dilakukan investigasi maka wartawan memang mau tak mau harus melakukan investigasi, jika fakta harus diungkap dengan berpartisipasi maka cara itu pula yang harus dia lakukan, demikian pula apabila harus melengkapi berita dengan angka-angka secara tepat dan relevan. Tak perlu dilebih-lebihkan namun tidak juga kurang dari yang dibutuhkan. [] bison
Senin, 14 September 2009
Lebih akrab dengan radio siaran
Meskipun tergolong komunikasi massa, namun gaya komunikasi di radio mengarah kepada komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Walaupun jumlah pendengarnya banyak, tetapi komunikator radio senantiasa menganggap komunikannya sebagai seorang individu yang akrab dengannya.
Perubahan fungsi radio amatir menjadi media penyiaran elektronik ditandai dengan didirikannya KDKA sebagai stasiun radio komersial pertama di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada tanggal 2 November 1920. Siaran radio siaran itu diawali dengan dukungan perusahaan pembuat peralatan radio Westinghouse Electric terhadap hobi Frank Conrad, salah seorang teknisinya yang gemar menyiarkan informasi singkat dan lagu-lagu dari gramafonnya melalui radio amatir pada tahun 1916. Setelah resmi mendapat izin melakukan siaran komersial, KDKA pun sukses meningkatkan penjualan pesawat radio sehingga menyemangati pabrik-pabrik radio lain mengikuti jejak Westinghouse Electric. Kalangan nonpabrikan radio yang selanjutnya berminat mendirikan stasiun radio adalah para penerbit koran yang berharap radio mampu mendistribusikan edisi elektronik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap mesin cetak dan truk distribusi.
Namun kekhawatiran itu tak terbukti. Radio tetap mampu menempatkan diri sebagai media elektronik yang paling tersebar secara global. Bahkan jika dihitung dari jam dengar selama ini, radio diyakini sebagai media yang tetap paling banyak digunakan. Kalaupun eksistensi radio terancam, maka ancaman itu tak terkait dengan kompetisi dengan media elektronik lain tetapi lebih karena kurangnya perhatian dari pemerintah atau kurangnya profesionalitas orang radio sendiri. Padahal apabila radio tak lagi eksis, maka yang menjadi korban sejatinya adalah masyarakat, karena kehilangan salah satu jenis media massa andalan.
Koran, radio, televisi dan internet, pada akhirnya punya fungsi sendiri-sendiri dalam komunikasi massa. Sebagaimana disimpulkan W Philip Davinson, seorang sosiolog dari Columbia University, radio mampu memberikan peringatan dini atau alarm kepada masyarakat. Radio cenderung menjadi media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi. Sedangkan televisi sebagai media audio visual tergolong sebagai media yang melibatkan emosi atau involving medium. Sementara itu, media cetak mampu menangani hal-hal yang kompleks dan menyajikan informasi secara lebih lengkap. Ketiga jenis media massa itu memiliki fungsi sendiri-sendiri, sehingga tak aneh rasanya jika di antara ketiganya tidak saling mematikan.
Dianggap sebagai media massa yang relatif murah, karena dibanding dengan ongkos berlangganan media cetak ataupun harga pesawat televisi, harga pesawat radio lebih murah. Pendengar juga tidak dipungut bayaran untuk menerima siaran radio. Sementara bagi pengelolanya, siaran radio juga relatif lebih murah dan sederhana karena hanya membutuhkan sedikit sumber daya manusia.
Radio dianggap praktis karena pesawat radio umumnya portable sehingga bisa dinikmati di mana saja dan kapan saja. Pendengar radio juga tidak perlu bertahan di depan karya cetak seperti pembaca surat kabar atau di depan layar seperti pemirsa televisi. Dengan demikian pendengar bisa lebih lama menerima informasi dari radio karena tetap bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan lain.
Materi siaran radio juga lebih imajinatif karena penyiar lebih leluasa menciptakan theatre of mind di benak pendengarnya. Radio juga lebih mampu menyajikan suasana intim karena suara penyiar diterima pendengar secara pribadi sehingga tercipta komunikasi yang relatif lebih hangat dan akrab, seakan-akan tak ada jarak antara pendengar dengan penyiar.
Meski relatif lebih murah, sederhana dan praktis, tetapi siaran radio tetap mampu mengemban fungsi media massa pada umumnya untuk mendidik, menjadi media informasi, komunikasi dan kontrol sosial bagi masyarakat. Bahkan radio lebih leluasa mengemban fungsi menghibur karena leluasa menyajikan musik dan mampu memberi kejutan yang menyenangkan. Misalnya saja ketika lagu kesukaan seseorang tiba-tiba diputar di radio, kesannya tentu sangat berbeda ketimbang orang itu sengaja memutar kaset atau CD.
Apabila salah kelola, keunggulan-keunggulan radio bisa juga menjadi titik lemahnya. Apabila gagal menciptakan theatre of mind di benak pendengarnya maka siaran radio bisa menjadi membosankan. Demikian pula apabila program-programnya tak disusun secara bijaksana dan independen maka radio akan gagal menjadi media informasi dan komunikasi yang mendidik dan mampu menjadi alat kontrol sosial.
Namun saat ini, kelemahan-kelemahan tersebut sudah semakin terkurangi seiring dengan semakin majunya teknologi yang dikuasai manusia. Dokumentasi siaran radio bukan lagi tak mungkin dilakukan karena semakin canggihnya komputer dengan server berkapasitas besar yang dimiliki stasiun radio. Halangan teknis dan pengaruh alam bukan hanya diatasi dengan meningkatkan kemampuan peralatan transmisi radio, tetapi juga sudah bisa diabaikan dengan adanya sistem Internet. Bahkan dengan sistem radio streaming yang terakses dalam internet, siaran radio bisa didengarkan di wilayah yang sangat jauh pada belahan Bumi lain. Dokumentasi siaran radio yang tersimpan di server stasiun radio juga bisa diakses melalui internet oleh setiap orang di muka Bumi melalui sistem radio on dermand seperti yang tersedia di situs web suarasurabaya.net.
Sesuai fungsi di tangan para penggemar radio amatir, radio siaran pun bisa memuat informasi dan hiburan. Tetapi dengan kewajiban 14 kali relay siaran berita dari Radio Republik Indonesia –RRI, serta pelarangan membuat dan menyiarkan berita sendiri, maka selama era Orde Baru radio siaran diposisikan hanya menjadi sarana hiburan di samping sebagai saluran propaganda pembangunan dan pengawasan politik penguasa.
Itu pula pasalnya, selama era Orde Baru tak ada radio yang menyelenggarakan siaran berita. Hasrat menyampaikan berita, disalurkan dengan mengemasnya sebagai paket informasi atau nama lain. Jurnalisme radio di Indonesia baru berkembang dengan terbitnya SK Menteri Penerangan Nomor 134/SK/Menpen/1998 yang memperbolehkan radio dan televisi non RRI dan TVRI menyusun berita sendiri, me-relay media asing dan menghapus kewajiban relay 13 kali dalam sehari.
Maka kemudian bermunculan stasiun radio yang menjadikan news atau berita sebagai sajian utama, seperti Radio El Shinta, Suara Surabaya, Trijaya dan banyak lagi lainnya, termasuk SOLOPOS FM yang pada 21 April 2004 memproklamasikan diri sebagai radio berita (news radio) pertama di kawasan eks Karesidenan Surakarta. Sajian utama sebagai ciri khas siaran stasiun radio lazim disebut sebagai format stasiun, format siaran, format program atau format radio.
Format pemberitaan hanyalah salah satu dari beragam format radio. Setidaknya, ada empat format utama yang dikenal selama ini, yakni format pemberitaan, radio percakapan, radio musik, dan radio dengan format khusus. Demi pencitraan terhadap pendengar dan pemasang iklan, stasiun-stasiun cenderung memilih format siaran sekhusus mungkin. Karena itulah dari empat format utama itu, selanjutnya muncul berbagai format ataupun subformat.
Radio siaran bisa mengacu satu format secara konsisten sepanjang waktu siaran, namun bisa pula mengacu sejumlah format yang berbeda sepanjang waktu siaran. Untuk mengacu sejumlah format sekaligus, pengelola stasiun radio bisa membagi waktu siaran (dayparts) sesuai segmen pendengar yang disasar.
Karena selama era Orde Baru radio siaran diposisikan hanya menjadi sarana hiburan, kebanyakan pengelola stasiun radio di Indonesia memilih musik sebagai format radio mereka. Namun ada pula yang menggabungkannya dengan format perbincangan atau format pemberitaan untuk waktu tertentu sesuai khalayak sasaran siaran yang tersegmentasi atas usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang sosial dan ekonomi.
Era otonomi daerah melengkapi reformasi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga membuat situasi semakin kondusif untuk tumbuh berkembangnya radio siaran. Paket undang-undang otonomi daerah itu diikuti dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi yang memungkinkan pemerintah daerah memberikan izin penggunaan frekuensi bagi radio dan televisi lokal.
Maka selanjutnya, stasiun televisi dan radio pun tumbuh lebih subur daripada sebelumnya. Intervensi pemerintah terhadap radio swasta yang ditandai monopoli pemberitaan demi status quo dengan kewajiban relay siaran berita RRI, serta loyalitas mayoritas radio siaran terhadap Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRRSNI) yang dipimpin oleh salah seorang ketua partai paling berpengaruh pun runtuh. Pengelola radio yang bebas dari kungkungan Orde Baru bermunculan, jumlah stasiun radio menjadi berlipat ganda. Hingga tahun 2005, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah mencatat 185 radio yang beroperasi di jalur FM, di wilayah kerjanya.
Dengan banyaknya jumlah stasiun radio, maka persaingan untuk mendapatkan pemasang iklan tentu saja semakin ketat. Hanya stasiun radio yang didirikan demi kepentingan tertentu saja yang tidak harus bersaing mendapatkan pemasang iklan demi kesinambungan pemenuhan biaya operasionalnya. Stasiun radio yang didirikan guna kepentingan dakwah misalnya, tidak mutlak harus mendapatkan pemasang iklan karena biaya operasionalnya telah tercukupi oleh sumbangan jemaah.
Mula-mula data itu tercukupi dengan catatan jumlah pendengar yang berinteraksi dengan penyiar di studio. Namun selanjutnya dikenal survei oleh lembaga independen yang menghasilkan rating yang menunjukkan popularitas suatu stasiun radio atau acaranya. Rating belakangan lebih dipercaya sebagai patokan untuk menentukan layak atau tidaknya stasiun radio atau acaranya dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Hal itu bisa dimaklumi karena adanya dua karakteristik pendengar radio, yakni kelompok pendengar aktif dan kelompok pendengar pasif.
Trimurti Widayatno, seorang praktisi radio di Yogyakarta mengidentifikasi kelompok pendengar aktif sebagai vocal minority, sedangkan kelompok pendengar pasif sebagai silent majority. Disebut vocal minority karena kelompok pendengar aktif biasanya cenderung menonjolkan popularitas diri atau kelompoknya dengan melibatkan diri di setiap acara, cepat bereaksi apabila ada perubahan pada siaran radio, bahkan suka membentuk dan terlibat dalam organisasi pendengar, namun sesungguhnya jumlah mereka terbilang sedikit dibanding seluruh pendengar radio yang ada. Sebaliknya kelompok pendengar pasif disebut silent majority karena biasanya kelompok ini hanya mendengarkan siaran radio apabila sesuai dengan seleranya, cenderung menghindari popularitas dan tidak ingin terlibat dalam organisasi pendengar, namun sebenarnya jumlah mereka sangat banyak.
Untuk menggapai popularitas itu, pengelola stasiun radio mutlak melakukan analisis dan perencanaan yang cermat untuk menentukan format siaran sebagai modal dalam membangun citra dan identitas stasiun radionya. Format siaran itu selanjutnya menjadi acuan dalam menentukan program acara, sajian musik dan materi siaran lain, bahkan juga kepribadian penyiar. Muara dari pengejawantahan format siaran itu adalah kemampuan memikat cukup banyak pendengar sebagai sasaran beriklan atau mencapai kepentingan penyandang dana operasional siaran radio.
Atas dasar kenyataan di atas, persaingan memikat pemasang iklan atau kepercayan penyandang dana operasional siaran radio, sejatinya adalah persaingan menentukan format siaran dan pengejawantahannya. Selanjutnya, pendengarlah yang berhak menentukan pilihan terhadap stasiun radio sesuai kebutuhan mereka. Kelompok pendengar yang hanya mengandalkan radio sebagai media hiburan tentu akan memilih radio dengan format musik atau format khusus yang menyajikan cukup banyak musik dan acara hiburan lain. Sedangkan kelompok pendengar yang mengandalkan radio sebagai media informasi tentu akan memilih radio dengan format pemberitaan atau format khusus yang menyajikan cukup banyak berita dan acara informasi lain.
Sejarah Indonesia misalnya, mencatat nama Bung Tomo sebagai pembakar keberanian dan semangat arek-arek Surabaya lewat corong Radio Be-Pri (BPRI - Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pada tanggal 9 November 1945 malam agar bersama-sama mencegah masuknya tentara Belanda (NICA) yang bermaksud menjajah kembali Indonesia dengan cara membonceng tentara Sekutu. Pidato radio Bung Tomo itu menggerakkan ribuan arek Surabaya mengangkat senjata seadannya demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan tiga bulan sebelumnya.
Contoh lain kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengarnya adalah pada gerakan People Power di Filipina pada bulan Februari 1986 saat Kardinal Sin lewat Radio Veritas mengimbau rakyat Filipina turun ke Camp Aguinaldo dan Crame untuk melindungi Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile dan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Fidel Ramos yang membelot dari kubu Marcos. Ratusan orang Filipina –ada yang menyebut satu juta orang— tak bersenjata menjawab seruan Kardinal Sin dengan bergabung ke kedua kamp. Gerakan People Power itulah yang selanjutnya memaksa Presiden Ferdinand Marcos melepas kekuasaan.
Sebagai contoh lain, kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengarnya bisa dilihat pada peran Radio Jakarta News FM yang selanjutnya diikuti oleh Radio ElShinta, Radio Suara Metro, Radio Sonora dan Radio MSTri, selama bencana banjir di Jakarta pada tahun 2002. Jakarta News FM mengawali peranan dengan memandu warga untuk menghindari daerah-daerah banjir ketika berkendara di jalan raya. Langkah itu diikuti pula oleh sejumlah radio lain. Kabel telepon yang sebagian terputus akibat banjir menyebabkan banyak orang bertanya-tanya apakah wilayah kediaman sanak saudara mereka ikut terendam banjir atau tidak, dan radio mampu menjawab pertanyaan itu. Belakangan, warga kota menitipkan nasi bungkus dan air minum dalam kemasan kepada reporter radio-radio itu untuk disampaikan kepada para korban banjir yang kesulitan mendapatkan makanan.
Kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengarnya sejatinya tampak dalam keseharian interaksi pengelola stasiun radio dengan para pendengar. Para pendengar radio rela menghabiskan waktu dan dana untuk mengikuti kegiatan nonair berupa acara jumpa pendengar bahkan acara lebih besar yang disponsori produsen barang atau jasa. Pada radio berita seperti ElShinta atau Suara Surabaya, kekuatan radio sebagai pengarah emosional pendengar bahkan sudah mewujud dengan kerelaan pendengar memanfaatkan pulsa demi berbagi informasi dengan pendengar lain tentang peristiwa di sekitar mereka.
Pengerahan dan pengarahan pendengar untuk bersama-sama melakukan sesuatu, hanya bisa dilakukan oleh pengelola stasiun radio yang kreatif dan dipercaya oleh pendengarnya. Pengelola stasiun tak boleh setengah-setengah melayani pendengar yang bersedia terlibat dalam siaran ataupun acara yang digelar bukan dalam format siaran (nonair). Materi siaran maupun acara nonair juga harus tertata dan terencana sehingga mampu memuasi pendengar.
Informasi yang menjadi materi siar stasiun radio harus memenuhi syarat-syarat layak dan lengkap sebagai karya jurnalistik. Untuk menyiapkan materi siaran yang merupakan karya jurnalistik, maka jajaran pengelola stasiun radio bukan hanya dituntut mampu membawakan siaran di balik piranti siar di studio. Mereka juga harus dilengkapi awak redaksi yang pada masa lalui hanya dibutuhkan oleh RRI sebagai pemegang monopoli pemberitaan radio-radio di Indonesia.
Karena itu, jika sebelum dibukanya regulasi yang memungkinkan stasiun radio swasta membuat berita sendiri hanya dikenal fungsi penyiar (announcer) dan operator di jajaran pengelola stasiun radio, maka belakangan muncul fungsi-fungsi lain. Selain penyiar dan operator, di jajaran pengelola stasiun radio muncul pula fungsi reporter, penyusun naskah (scriptwriter) dan pembaca berita (newscaster). Bahkan karena radio dituntut mampu melayani pendengar yang berbagi informasi dengan pendengar lain, belakangan muncul pula fungsi news keeper atau gate keeper, bahkan juga on air editor yang berfungsi sebagai penerima dan penyeleksi informasi yang dianggap layak siar.
Selama bertahun-tahun, RRI telah mengembangkan sejumlah format acara seperti uraian, majalah udara, feature, dokumenter, siaran pembangunan (development broadcasting unit), dan banyak lagi lainnya. Seiring dengan perkembangan selera masyarakat yang dipengaruhi pula oleh keberadaan tayangan audio visual siaran televisi, para pengelola stasiun radio terus menggali potensi radio untuk mengembangkan acara-acara sesuai karakteristik khas radio. Sandiwara radio yang sempat berjaya di Indonesia pada tahun 1980-an misalnya, dikembangkan menjadi sandiwara yang lebih akrab dengan melibatkan pendengar dalam penyusunan cerita.
Materi pemberitaan yang disajikan radio, tak lagi harus mengupas tuntas sehingga tertunda kelewat lama disampaikan kepada pendengar. Meskipun pola jurnalistik radio yang tidak berbeda dengan prinsip jurnalisme pada umumnya, tetapi sesuai ciri jurnalisme media elektronik, maka jurnalisme radio memiliki sifat imajinatif dan interaktif, metodologi reportasenya berbentuk on the spot reporting atau laporan langsung dari tempat kejadian, dan kemasan penyajiannya berbentuk breaking news atau berita sela. Dengan demikian, radio bakal bisa menempatkan diri sebagai media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi.
Selain berita, radio bisa pula menyajikan acara dalam format lain seperti wawancara, phone in, kuis, diskusi, tanya jawab, voxpops, laporan langsung dari lapangan, dan banyak lagi lainnya. Kelompok sajian acara itu, oleh Verdy Bagus Hendratmoko digolongkan sebagai karya jurnalistik di radio. Sebab format acara drama radio, musik, lawak/humor, kuis dan tips-tips info termasuk iklan dan iklan layanan masyarakat digolongkannya dalam kategori karya artistik.
Wawancara terbilang sebagai format yang paling banyak digunakan talk radio karena pada dasarnya wawancara adalah cara termudah dan membutuhkan proses penyuntingan yang lebih singkat daripada format lain. Diskusi serta tanya jawab tak jauh berbeda, kecuali pada jumlah alur penyajiannya.
Sedangkan phone in atau telepon pendengar adalah format radio yang sudah klasik. Format ini digunakan di seluruh dunia, dan pendengar menyukainya. Di saat yang sama, irama dan gaya acara phone-in dapat sangat berbeda dari satu stasiun ke stasiun lain. Acara phone-in sangat bergantung pada host di studio. Pendekatan kepada pendengar, cara host bicara kepada pendengar, cara menyampaikan lelucon kepada pendengar, opini host itu sendiri, kecepatan, dan sebagainya. Phone-in juga bisa menjadi perangkat yang sangat baik untuk berbagi informasi antarpendengar.
Sementara itu, vox-pops yang dilakukan untuk bertanya secara acak kepada banyak orang dengan pertanyaan yang sama bisa sangat menghibur dan sedikitnya memberi kesan apa yang sedang terjadi, mskipun jenis format ini bukan merupakan analisa yang andal terhadap kenyataan dan pendapat masyarakat. Vox-pops bahkan dapat diubah menjadi perangkat yang sangat penting dalam memperlihatkan kondisi masyarakat yang tak terbiasa menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Vox-pops memberi kesempatan yang baik untuk mengekspresikan satu pandangan dengan cara yang sempit. Untuk itu, vox-pops ideal digunakan sebagai perangkat ilustrasi, untuk memperlihatkan beragamnya pendapat.
Namun format yang paling menonjolkan potensi kekuatan radio sebenarnya adalah laporan langsung dari lapangan. Kejadian yang dramatis semisal demonstrasi, perang, kecelakaan dan sebagainya, bisa dilaporkan oleh reporter yang berada di lokasi san menjadi saksi mata bagi pendengar. Untuk melakukan laporan langsung dari tempat kejadian, reporter harus memiliki seluruh indera, baik itu indera untuk melihat, mendengar, membaui dan merasakan --dan melaporkan kesan-kesan kepada pendengar. Laporan langsung terbilang sulit dilakukan karena tak ada kesempatan untuk latihan. Sementara laporan terekam dapat dilatih dulu, dan disesuaikan. Bahkan jika skenarionya sangat dramatis, kerap laporan yang dipersiapkan bisa lebih berkualitas. Dalam kedua kasus itu, naluri yang tinggi terhadap aturan-aturan bercerita (story telling) dibutuhkan. Mungkin yang terpenting adalah kemampuan untuk menggambarkan dalam bahasa tutur harus tinggi. Laporan langsung dari lapangan juga terbuka untuk dipadukan dengan wawancara.
Format acara yang tergolong dalam kategori karya artistik juga berbeda-beda kebutuhan naskahnya. Drama radio, spot iklan dan iklan layanan masyarakat membutuhkan dukungan skenario layaknya sandiwara untuk kepentingan panggung ataupun film. Demikian juga halnya dengan lawak/humor, meskipun penyajian format acara ini bisa lebih kreatif sehingga penyajinya bisa spontan menambahi materi yang dimuat dalam skenario. Kuis butuh panduan penyampaian yang didasarkan pada ketentuan pelaksanaannya. Sedangkan acara musik, bisa digarap serius sebagai paket musik yang mendekati feature atau dokumentasi, tetapi bisa pula disajikan lebih bebas sesuai kesepakatan pendengar dan disc jockey.
• Asep Syamsul M Romli, Broadcast Journalism: Panduan Menjadi Penyiar, Reporter & Script Writer, Penerbit Nuansa, Bandung, 2004.
• Roger Fidler, Mediamorfosis: Understanding New Media, Bentang Bentara, Februari 2003.
• Internews Indonesia, Link Pelatihan Radio - Internews Indonesia, http://www.internews.or.id/
• Masduki, Jurnalistik Radio: Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar, LKiS Yogyakarta, 2001.
• Masduki, Radio Siaran dan Demokratisasi, Penerbit Jendela Yogyakarta, 2003.
• UNESCO, Memperkuat Demokrasi dan Pemerintahan Yang Bersih Melalui Pengembangan Media di Indonesia - Komponen Pertama: Peningkatan Kemampuan Radio Lokal, panduan lokakarya, 1999.
• Rahmat Wibisono, Karya Jurnalistik di Radio, makalah pelatihan, 2004.
• Torben Brandt dan Eric Sasono, Memperkuat Demokrasi dan Pemerintahan Yang Bersih Melalui Pengembangan Media di Indonesia - Komponen Pertama: Peningkatan Kemampuan Radio Lokal, UNESCO, http://jakarta.unesco.or.id/LOCALRAD/BAHASA/SCHOOL/rformat/rformat.htm#top
• Trimurti Widiyatno, Bagaimana Menjadi Penyiar Radio yang Andal, makalah pelatihan, 2005
• Verdy Bagus Hendratmoko, Jurnalistik Radio, Sebuah Pengantar, makalah pelatihan, 2004.
Sabtu, 29 Agustus 2009
Kompetensi Wartawan
Pedoman Peningkatan Profesionalisme dan Kinerja Pers
Sinopsis :
Gagasan merumuskan kompetensi wartawan muncul dari keinginan untuk memajukan kinerja pers dan profesionalisme wartawan. Kompetensi ini di-rasa sangat mendesak untuk dirumuskan mengingat di era kebebasan pers --yang melahirkan begitu banyak pers baru-- kualitas karya-karya jurnalistik dan etika pers justru sering dipertanyakan berbagai kalangan masyarakat. Menjadi wartawan, bahkan menjadi pemimpin redaksi saat ini terkesan merupakan suatu profesi yang kurang dihargai masyarakat.
Dunia kewartawanan, bagi sebagian kalangan, dinilai telah rusak dan kacau. Banyak orang mengaku sabagai wartawan atau menyandang predikat wartawan meskipun tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan jurnalistik yang memadai. Beragam pengetahuan dan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh wartawan sering diabaikan. Tidak ada tolok ukur yang jelas untuk mengevaluasi kinerja pers dan profesionalisme wartawan.
Situasi yang memprihatinkan tersebut mendorong keinginan sejumlah pihak untuk merumuskan tolok ukur kompetensi wartawan. Salah satunya adalah Forum Peduli Media Massa, yang telah menunjukkan perhatiannya pada kehidupan pers dengan menyusun konsep Standar Kompetensi Wartawan berdasarkan hasil kajian-kajian yang dilakukannya. Kementerian Komunikasi dan Informasi juga telah menyelenggarakan kegiatan lokakarya dan diskusi mengenai kompetensi wartawan pada akhir tahun 2003. Menanggapi keinginan berbagai kalangan dalam masyarakat, Dewan Pers, sebagai lembaga yang diharapkan dapat berperan dalam penerapan swaregulasi pers, melanjutkan upaya merumuskan kompetensi wartawan tersebut.
Naskah yang berisi rumusan kompetensi wartawan ini disusun berdasarkan wacana yang berkembang pada empat lokakarya yang diselenggarakan Dewan Pers dari bulan Juli - September 2004. Selain berisi ringkasan berbagai pendapat yang dikemukakan para peserta lokakarya, rumusan ini dibuat berdasarkan informasi dari sejumlah sumber, hasil wawancara, studi pustaka. Naskah ini disusun dengan landasan keyakinan bahwa merumuskan standar kompetensi wartawan merupakan salah satu cara untuk menjawab keresahan masyarakat terhadap perkembangan pers, serta upaya mengembalikan martabat pers dan profesi wartawan di Indonesia.
Bagaimanapun membangun kebebasan pers bukanlah demi kepentingan komunitas pers itu sendiri, melainkan untuk kepentingan masyarakat.
Penerbit:
- Cetakan pertama, Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi, Oktober 2004
- Cetakan kedua, Dewan Pers dan Friedrich Ebert Stiftung-FES, Oktober 2005
- Cetakan Ketiga, Dewan Pers, April 2006
- Cetakan Keempat, Dewan Pers, September 2006
Tebal: xiii + 66 halaman
Pengarang : Perumus: Lukas Luwarso dan Gati Gayatri
ISBN : 979-99140-0-0
Rabu, 24 Juni 2009
Berkenalan dengan jurnalistik
Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai ”jurnalistik” sebagai ”yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran”. Sedangkan ”jurnalisme” adalah ”pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya, serta kewartawanan.” Sementara itu, Ensiklopedi Indonesia memaknai ”jurnalistik” sebagai ”bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.” Sedangkan ensiklopedia elektronik Wikipedia mencatat ”jurnalisme” sebagai ”bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah, dan tokoh.”
Berbagai referensi mengurai jurnalistik dalam sejumlah sudut pandang berbeda. Ada yang memaknainya secara harfiah berdasarkan akar kata “du jour” pada bahasa Yunani yang berarti ”catatan atau laporan harian.” Ada pula yang menariknya dari kata ”jurnal” atau ”journal” yang berarti ”laporan” atau ”catatan,” serta kata ”jour” yang dalam bahasa Prancis yang berarti “hari”. Pandangan itu lalu dihubung-hubungkan dengan peraturan Julius Caesar pada zaman Romawi Kuno sekitar tahun 50 SM, agar kegiatan-kegiatan Senat diumumkan kepada khalayak setiap hari dengan cara ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.
Dengan referensi itu, kegiatan jurnalistik memang terkesan sangat tua umurnya. Bahkan keberadaan Nusantara pun kali pertama dikabarkan kepada masyarakat luar wilayah ini pada masa protosejarah melalui kegiatan serupa oleh Pendeta I-Tsing pada abad ke-6 M. Langkah mirip dilakukan Mpu Prapanca pada tahun 1365 melalui Negara Kertagama, ini judul lontar yang mencatat kegiatan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, saat melakukan wisata ziarah ke peninggalan leluhurnya. Dalam lontar itu, disebutkan pula nama-nama daerah yang menjadi wilayah kekuasaan raja Majapahit.
Berbeda dengan Acta Diurna-nya Julius Caesar yang harus didatangi pembaca, lontar Negara Kertagama jelas mengalami mobilitas. Peneliti Belanda JLA Brandes kali pertama menemukan lontar Negara Kertagama itu justru di Puri Cakranegara Lombok, bukan di Jawa Timur yang diyakini para sejarawan ataupun arkeolog sebagai lokasi pusat Kerajaan Majapahit. Lontar serupa selanjutnya juga ditemukan di sejumlah lokasi di Bali. Meskipun Negara Kertagama telah mengalami mobilitas demi mengabarkan kondisi pemerintahan Hayam Wuruk ke wilayah kerajaan bawahan, namun surat kabar tulis tangan yang kali pertama dicatat sejarah persuratkabaran adalah Gazzetta di Vanesia yang terbit sekitar tahun 1536. Sedangkan jurnalisme modern sesuai definisi dalam kamus maupun ensiklopedia, berkait erat dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg tahun 1454.
Berdasarkan paparan di atas, pengertian jurnalistik modern ini dapat disimpulkan tak bisa dipisahkan dengan penulisan karya jurnalistik media cetak, kendati belakangan media komunikasi juga berwujud radio, televisi dan Internet. Pun demikian dengan di Indonesia, awal mula kegiatan jurnalistik modern tak bisa dipisahkan dari penerbitan surat kabar yang dicetak secara massal. Perkembangan kegiatan jurnalistik modern di Indonesia itu diawali oleh Kolonialis Belanda pada 1744 dengan terbitnya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen di Batavia. Sedangkan surat kabar bagi kalangan pribumi Mingguan Bromartani baru terbit 1854 di Solo. Sebagaimana wilayah lain dunia dan masa penjajahan sebelumnya, perkembangan jurnalistik setelah Republik Indonesia merdeka sangat dipengaruhi politik pemerintahan.
Pada awal Indonesia merdeka hingga Orde Baru, kebebasan jurnalistik menghadapi berbagai kekangan, sederet surat kabar dibredel, hingga akhirnya mendapatkan kebebasan saat gelombang semangat Reformasi menggelora. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis setelah Departemen Penerangan sebagai dibubarkan saat BJ Habibie berkuasa. UU Pokok Pers No 21/1982 diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999. Siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Kebebasan pers ini awalnya disikapi sinis oleh sebagian kalangan yang menganggap fenomena itu sebagai euforia demokrasi. Namun perkembangan teknologi belakangan justru membalik keadaan, aktivitas jurnalisme kini bahkan bisa terwujud di tangan para blogger sekalipun.
Tribuana Said dari Lembaga Pers dr Soetomo bahkan menyebut bahkan menganggap UU Pokok Pers No 40/1999 memerdekakan pers Indonesia yang telah terkekang 2,5 abad. Anggapan itu tak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa kegiatan jurnalistik di Indonesia memang sudah terkekang bahkan sejak Bataviasche Nouvelles terbit. Selanjutnya izin menerbitkan media massa tak pernah gampang diperoleh bahkan aktivitas penerbitan pers selalu saja berseberangan dengan penguasa. Maklum saja, pemikiran yang diterima masyarakat melalui tulisan —baik melalui buku ataupun surat kabar— senantiasa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini publik. Gagasan tertulis itu mampu menjadi motivator masyarakat untuk berbuat lebih baik, termasuk menyemangati masyarakat berjuang memerdekakan diri seperti yang dilakukan pers Indonesia pada masa penjajahan dan setiap fase perjuangan bangsa berikutnya.
Pengertian jurnalistik
Tatkala kegiatan jurnalistik berperan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat, mulai muncullah kebutuhan untuk mempelajarinya. Untuk kali pertama, jurnalistik muncul dalam kehidupan akademis di Universitas Bazel Swiss pada tahun 1884 dengan nama Zeitungskunde yang lalu berubah menjadi Zeitungswissenchaft atau Ilmu Persuratkabaran.
Seiring perkembangan media komunikasi massa, seusai Perang Dunia II istilah Publisistik lebih populer di kalangan akademisi Eropa, sedangkan Jurnalisme mulai dikembangkan di Amerika Serikat mulai 1690. Dari waktu ke waktu selanjutnya, pemikiran para akademisi itupun lebih mendominasi kepercayaan masyarakat atas pengertian jurnalistik dibandingkan para praktisinya.
Secara konseptual, jurnalistik menurut Kamus Jurnalistik karya ASM Romli, setidaknya dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yakni sebagai proses, teknik dan ilmu. Sebagai proses, jurnalistik adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan atau jurnalis.
Sebagai teknik, jurnalistik adalah keahlian atau keterampilan menulis karya jurnalistik --baik itu berita, artikel opini ataupun advertorial-- termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti reportase atau peliputan peristiwa, dan wawancara. Sedangkan sebagai ilmu, jurnalistik adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa.
Jurnalistik termasuk ilmu terapan yang dinamis dan terus berkembang sesuai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebagai ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.
Sementara itu jika dipandang secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita dan penyebarluasannya melalui media massa. Dari pengertian ini, jurrnalistik memiliki empat komponen, yakni informasi, penyusunan informasi, penyebarluasan informasi, dan media massa. Tak berbeda dengan definisi yang dirumuskan para ahli.
F Fraser Bond dalam An Introduction to Journalism Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati. |
Adinegoro Jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. |
Onong Uchjana Effendy Teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat. |
Perkembangan jurnalistik
Meskipun pada awalnya jurnalistik dimaknai sempit sebagai publikasi secara cetak, dewasa ini pengertian tersebut meluas. Karya jurnalistik tak sebatas dimuat media cetak seperti surat kabar, majalah, dan semacamnya, sebab jurnalistik juga meluas pada media elektronik seperti radio dan televisi. Bahkan, surat kabar, radio dan televisi, belakangan tersaingi pula dengan berkembangnya sistem world wide web pada teknologi komputer yang mempopulerkan media Internet.
Namun pada akhirnya, surat kabar, radio, televisi dan Internet punya fungsi sendiri-sendiri dalam komunikasi massa. Sebagaimana disimpulkan W Philip Davinson, sosiolog Columbia University, radio mampu memberikan peringatan dini atau alarm kepada masyarakat sehingga cenderung menjadi media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi. Sedangkan televisi sebagai media audio visual tergolong sebagai media yang melibatkan emosi atau involving medium. Sementara itu, media cetak mampu menangani hal-hal yang kompleks dan menyajikan informasi secara lebih lengkap.
Dengan fungsi masing-masing itu, berbagai jenis media massa takkan saling mematikan. Dan kendati setiap jenis media massa menganut teknologi sendiri, namun pekerja jurnalistik pada umumnya tetap setia pada lima fungsi utama lembaga profesi mereka, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence).
Di samping lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal, ada pula lima karakteristik atau ciri-ciri spesifik pers yang juga senantiasa sama, yakni periodesitas, publisitas, aktualitas, universalitas, dan objektivitas. Kendati memiliki fungsi dan karakteristik umum yang sama, namun dalam perkembangannya, pers diklasifikasikan dalam tiga tipologi, yakni pers berkualitas (quality newspaper), pers populer (popular newspaper), dan pers kuning (yellow newspaper).
Penerbitan pers berkualitas biasanya memilih cara penyajian yang etis, moralis, intelektual dan menghindari pola dan penyajian pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Pers jenis ini sangat meyakini pendapat: kualitas dan kredibilitas media hanya bisa diraih melalui pendekatan profesionalisme secara total. Produknya ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas.
Sedangkan pers populer sangat menekankan nilai serta kepentingan komersial. Pers jenis ini lebih banyak dimaksudkan untuk memberikan informasi dan rekreasi (hiburan). Biasanya produk pers jenis ini adalah kalangan menengah-bawah. Sedangkan pers kuning mengeksploitasi warna tanpa terlalu setia pada kaidah baku jurnalistik, bahkan berita pers kuning tak selalu berpijak pada fakta dan bisa saja didasari ilusi, imajinasi, dan fantasi. Pers kuning yang kerap menggunakan pendekatan jurnalistik SCC (sex, conflict, crime) ini biasanya ditujukan bagi masyarakat pembaca kelas bawah.
Di samping bisa diurai berdasarkan kelas sosial konsumen masing-masing media massa, berdasarkan perkembangan pers itu para ahli dan praktisi jurnalistik ataupun periklanan lalu kerap membagi pula media massa berdasarkan wilayah edar. Maka dikenallah media massa komunitas, media massa lokal, media massa regional, media massa nasional, dan media massa internasional.
Kategorisasi pers berdasarkan wilayah edar ini kerap tak jelas karena mengalami pasang surut seiring minat konsumen dan berbagai faktor lain, termasuk perkembangan teknologi dan terbukanya akses interaksi konsumen. Tengok saja banyaknya ”media massa” di jejaring internasional (internatinal network/Internet) yang sejatinya melaksanakan fungsi jurnalistik dan diakses publik di seantero planet Bumi.
Reaksi positif publik terhadap jurnalistik interaktif yang terwujud dalam bentuk forum-forum perbincangan di Internet bahkan belakangan ini menyeret media massa cetak yang relatif mapan melakukan perilaku serupa. SOLOPOS misalnya kini memperkenalkan rubrik Ruang Publik sebagai kelanjutan kesuksesan merintis rubrik Kriing SOLOPOS di Indonesia.
Citizen journalism pada community newspaper semacam yang dilakukan SOLOPOS itu diyakini bakal berkembang pada masa mendatang. Model ”jurnalistik” semacam ini erat kaitannya dengan prinsip proximity atau kedekatan dalam jurnalistik. Masyarakat cenderung tertarik mengikuti berita yang memiliki kedekatan dengan diri mereka. Buntutnya, media massa bakal diterbitkan dengan wilayah edar dan bahasan yang semakin sempit.
Wong Solo misalnya, tidak hanya butuh SOLOPOS yang menyajikan informasi aktual global maupun lokal secara general, tetapi juga perlu media pendamping lain. Sebagian kalangan mungkin butuh tambahan tabloid olahraga karena “gila” sepakbola, sebagian lainnya mungkin memilih tambahan majalah wanita sebagai panduan berperilaku, ada juga yang merasa butuh tambahan majalah terbitan organisasi profesi mereka agar tak tertinggal info perkembangan terakhir profesi itu.
Termasuk juga dalam hal ini, media komunikasi antarsiswa dalam suatu sekolah, ataupun media komunitas lain untuk kalangan pembaca yang terbatas. Dalam sejarah penerbitan pers di Indonesia, media massa jenis ini oleh Orde Baru dikelompokkan sebagai penerbitan khusus. Berbeda dengan penerbitan umum yang wajib dilengkapi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), penerbitan khusus pada masa Orde Baru cukup dilengkapi surat tanda terdaftar (STT).
Penerbitan khusus
Seiring berembusnya angin eformasi yang lalu, kini tak harus ada STT untuk menerbitkan buletin, tabloid ataupun majalah bagi komunitas terbatas. Bahkan, kendati kemajuan teknologi memudahkan komunitas-komunitas saling berbagi informasi di dunia maya lewat maling list, situs pergaulan, ataupun web blog, pemenuhan kebutuhan atas informasi dan komunikasi komunitas itu, tetap dilakukan lewat media massa cetak atau majalah dinding (Mading).
Bentuk majalah biasanya dipilih pengelola penerbitan khusus karena dianggap relatif lebih awet dibanding tabloid ataupun buletin dalam wujud leaflet yang biaya produksinya lebih murah. Sementara website dan mailing list hanya cocok bagi komunitas yang anggotanya rutin mengakses Internet. Sedangkan Mading banyak dipilih karena biaya pembuatannya relatif murah dan praktis karena bisa dibaca oleh banyak orang sekaligus.
Seperti halnya wujud penerbitan khusus yang tak jauh berbeda dengan penerbitan umum. Tujuan pengelolaannya juga tak beda, penerbitan khusus juga diharapkan mampu menjadi sarana komunikasi, publikasi, pembelajaran, hiburan dan juga kontrol sosial. Untuk itu, penerbitan khusus juga butuh sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknik jurnalistik dan punya vitalitas untuk mempertahankan kesinambungan terbit.
Teknik jurnalistik bisa dipelajari pengelola penerbitan khusus melalui pelatihan singkat yang digelar periodik atau belajar sendiri dari buku. Guna menjamin kesimbungan terbit dan kaderisasi pengelola, pengurus organisasi pada umumnya menugasi tim untuk mengelola penerbitan khusus mereka, tetapi ada pula yang karena keterbatasan waktu dan tenaga maka menyerahkan pengelolaan penerbitan khusus mereka kepada pihak ketiga.
Merintis penerbitan khusus
Tatkala komunitas atau organisasi menyepakati perlunya menerbitkan media massa sendiri maka sudah selayaknya para pengelola belajar terlebih dulu kinerja yang lazim diterapkan pada institusi penerbitan. Tak berbeda dengan pengelola media massa pada umumnya, pengelola penerbitan khusus bisa dibagi dalam dua divisi, yakni redaksi dan usaha.
Redaksi bertugas menyiapkan naskah sesuai kebutuhan pembaca. Divisi ini dipimpin seorang pemimpin redaksi yang dibantu sekretaris redaksi dan redaktur pelaksana untuk koordinasi tugas sehari-hari, beberapa redaktur yang bertanggung jawab memilih tema dan menyunting naskah, serta sejumlah reporter yang mencari berita di lapangan.
Sedangkan divisi usaha bertanggung jawab terhadap berbagai aspek lain seperti distribusi atau sirkulasi dan penyediaan dana operasional penerbitan. Dukungan dana operasional penerbitan khusus biasanya memang dianggarkan oleh pengurus organisasi sehingga tanggung jawab divisi usaha penerbitan khusus tak seberat divisi usaha penerbitan umum. Itu pasalnya, divisi usaha penerbitan khusus basa saja berada di bawah koordinasi pimpinan redaksi dan berfungsi layaknya bendahara.
Langkah awal dalam merintis penerbitan khusus adalah menyusun kepengurusan, menyepakati tujuan penerbitan, menentukan wujud serta rubrikasinya. Penerbitan khusus bisa memuat beberapa tulisan yang dirangkai melalui tema yang berbeda-beda setiap kali terbit, berita-berita peristiwa seputar organisasi serta aktivitas lain yang diminati anggota. Bisa juga dimuat secara rutin artikel opini, ilmiah populer dan resensi. Tak boleh lupa pula susunan redaksi dan tajuk rencana.
Melalui rapat redaksi, para pengelola selanjutnya bisa mulai merancang isi penerbitan dari edisi yang bakal diterbitkan, mencari bahan berita di lapangan dan kemudian menyusunnya. Untuk itu, pengelola penerbitan khusus harus terlebih dulu membekali diri dengan teknik menulis berita dan pengetahuan jurnalistik lainnya.
Mengumpulkan fakta
Sebelum melangkah jauh, pengelola penerbitan khusus perlu memahami terlebih dahulu bahwa berita sesungguhnya merupakan hasil akhir dari proses pengumpulan fakta yang kemudian disampaikan dalam suatu laporan—yang merupakan kegiatan pokok jurnalistik. Wujudnya, bisa berupa tulisan, foto, suara atau gambar yang biasa dibaca, didengar dan dilihat khalayak lewat media massa.
Dalam menyampaikan laporan kepada khalayak itu, dibutuhkan keterampilan mencari dan mencatat fakta yang merupakan bahan dasar dalam kerja jurnalistik, serta keterampilan membuat berita. Untuk terampil mengumpulkan bahan berita dan menyampaikannya kepada pembaca, tak bisa tidak hanya bisa dicapai dengan berlatih. Namun sebelumnya, seorang pengelola penerbitan khusus harus pula menguasai pengetahuan tentang teknik pengumpulan fakta, unsur-unsur pembentuk suatu berita dan penyampaiannya kepada pembaca. Harus pula dipahami tentang ragam berita yang selama ini telah dirumuskan dan disepakati secara luas oleh para peneliti dan pekerja pers.
Fakta bisa diperoleh dengan cara melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara. Observasi dilakukan apabila jurnalis secara langsung menghadapi fakta sehingga dapat menangkap sendiri dengan inderanya. Sedangkan wawancara dilakukan apabila dia harus menangkap latar belakang fakta mengenai pengalaman, pendapat dan cita-cita orang lain.
Merangkai fakta
Setelah fakta diperoleh, maka barulah seorang jurnalis bisa menyampaikan berita dengan merangkai kembali fakta yang telah diperolehnya itu dalam kata-kata atau gambar-gambar. Namun, tidak setiap kejadian bisa dijadikan berita. Ada ukuran-ukuran tertentu yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu kejadian atau peristiwa itu bernilai untuk diberitakan dan dimuat media massa. Oleh pers Indonesia, ukuran itu lazim disebut layak berita.
Layak berita atau nilai kejadian, menjadi persyaratan awal dan utama sebelum seorang reporter menulis berita jurnalistik. Sebab, tidak ada gunanya menulis berita yang tidak bernilai untuk dimuat media massa. Hal yang menjadikan suatu kejadian atau peristiwa itu layak berita adalah adanya unsur penting dan menarik dalam kejadian tersebut. Karena setiap orang mempunyai konsep atau persepsi yang berbeda-beda tentang penting dan menariknya suatu kejadian, maka dalam ilmu jurnalistik terdapat rambu-rambu atau unsur yang dipakai untuk menyaring apakah fakta itu layak berita untuk dimuat atau tidak, yaitu unsur penting (significance), besar (magnitude), waktu (timeliness), kedekatan (proximity), tenar (prominance) dan menyentuh rasa kemanusiaan (human interest). Jika salah satu unsur di atas sudah dipenuhi, maka sebuah kejadian sudah cukup layak untuk diberitakan dan semakin lengkap unsur yang terpenuhi maka semakin layaklah berita itu.
Fakta-fakta yang dikumpulkan untuk diracik menjadi berita biasanya baru dianggap lengkap apabila memenuhi enam pertanyaan pokok, meliputi: apa, siapa, mengapa, di mana, bilamana dan bagaimana. Untuk menyebutkan kelengkapan berita itu, kalangan pers lebih sering menggunakan istilah 5W+1H alias what, who, why, where, when dan how. Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu adalah modal bagi reporter untuk mengumpulkan fakta seluas-luasnya. Pasalnya setiap kejadian akan mengandung jawaban dari keenam pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu tidak hanya bisa dikemukakan sekali saja dalam setiap kegiatan pencarian fakta tetapi berulang-ulang dan sambung menyambung.
Ada pula persyaratan lain yang biasa diterapkan jurnalis dalam mendapatkan fakta, yaitu tuntutan untuk selalu mencari fakta-fakta yang faktual, aktual dan akurat. Faktual artinya fakta itu harus berdasarkan fakta, bukan fiktif atau direka-reka oleh penulis. Aktual, maksudnya adalah fakta itu harus masih hangat dibicarakan atau ada kaitannya dengan masalah yang sedang hangat dibicarakan. Sedangkan akurat, artinya fakta yang disajikan dalam berita harus persis seperti adanya, tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurangi.
Syarat aktual, terkait erat dengan satu pokok pikiran dalam wujud kalimat atau alinea yang memperlihatkan kaitan masalah yang diungkapkan dalam tulisan dengan situasi mutakhir masyarakat. Hal itu lazim disebut news peg atau cantelan. Dengan demikian, berita aktual tidak selalu harus diangkat dari kejadian yang baru saja terjadi, tetapi mungkin juga diangkat dari satu fenomena yang terkait dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Sebagai patokan penyampaian fakta kepada khalayak pembaca, sebagian pekerja pers mengenal pula rumusan ABC alias accurate, balance dan clear. Maksudnya, fakta yang disampaikan sebagai berita perlu senantiasa tepat seperti adannya, penyampaiaannya dalam wujud berita harus selalu berimbang antara pihak yang mungkin berseberangan, serta bersih dari kepentingan pihak-pihak yang mungkin berbeda pendapat.
Dalam penulisan berita, seorang jurnalis perlu pula senantiasa memperhatikan news peg (cantelan), sehingga pembaca media massa tidak akan bertanya-tanya alasan diturunkannya satu tulisan tertentu. Hal itu tidak hanya berlaku bagi berita, tetapi juga untuk jenis artikel lain. Bagi penulis, pentingnya news peg dalam menulis berita pada akhirnya berpengaruh pada pemilahan bahan berita dan pemilihan model penulisan. Untuk pemilahan dan pemilihan itu, berita lalu bisa dibedakan menjadi: berita yang didasari peristiwa momentum, berita lanjutan (follow-up news), berita berdasarkan peristiwa teragenda, dan berita berdasarkan peristiwa fenomenal.
Jenis berita pertama sampai ketiga, tidak menyebabkan penulis berpayah-payah menggali news peg. Namun untuk berita berdasarkan peristiwa fenomena, penulis perlu memiliki kejelian dan kepekaan agar mendapatkan news peg yang tepat. Kemampuan menggali news peg yang tepat itu, adalah syarat mutlak bagi penulisan feature dan ulasan mendalam, jenis berita yang tepat disajikan pada media yang tidak terbit setiap hari.
Memilih ragam berita
Kelengkapan, kelayakan berita maupun faktual, aktual serta akurasi fakta berlaku untuk untuk semua ragam berita yang dikenal di media massa, sebab syarat-syarat itulah yang membedakan berita dengan ragam muatan lain di media massa. Secara umum, media massa cetak mengenal adanya tiga ragam berita, yaitu berita langsung (straight news), berita ringan (soft news) dan berita kisah (feature). Masih ada ragam berita lain yang dikenal media massa, namun pada dasarnya ketiga ragam itulah yang merupakan pangkal tolak untuk menulis dalam kegiatan jurnalistik.
Pada dasarnya, ketiga ragam berita tersebut dibedakan berdasarkan strukturnya. Struktur yang tepat untuk melaporkan suatu peristiwa, dipastikan ketika penulis akan meramu fakta-fakta yang diperolehnya di lapangan untuk dijadikan berita. Setiap fakta yang bakal disampaikan kepada masyarakat dapat dibedakan atas unsur penting dan menariknya. Peristiwa yang dinilai penting dan harus segera diketahui masyarakat, umumnya disampaikan melalui berita langsung. Sedangkan fakta yang dianggap menarik namun tidak harus segera diketahui masyarakat, umumnya disampaikan melalui berita ringan atau feature. Dalam situasi tertentu, berita langsung dan ringan bisa saling melengkapi.
Berpegang pada teori jurnalistik yang dianut secara luas, penulisan berita langsung harus selalu mengacu pada model piramida terbalik. Pada model piramida terbalik itu, segala sesuatu yang terpenting senantiasa diletakkan di bagian awal tulisan. Karena dibuat untuk menyampaikan kejadian-kejadian yang harus diketahui dengan segera oleh pembaca, maka lead atau kepala berita pada straight news sudah harus mampu memberikan informasi maksimal kepada pembaca. Dengan demikian pembaca tidak perlu membaca keseluruhan berita itu untuk mengetahui fakta yang disampaikan.
Sementara itu, penulisan berita ringan menganut prinsip yang hampir sama dengan berita langsung. Hanya saja berita jenis ini tidak terlalu mementingkan unsur pentingnya suatu peristiwa. Jenis berita ini bisa dimanfaatkan untuk melaporkan peristiwa yang menyentuh sisi manusiawi suatu kejadian penting. Kejadian pentingnya sendiri ditulis sebagai berita langsung, sementara unsur manusiawinya bisa ditulis sebagai soft news.
Sedangkan untuk berita kisah atau feature lebih merupakan tulisan mengenai kejadian yang dapat menyentuh perasaan ataupun menambah pengetahuan pembaca. Berita ini tidak terikat dengan aktualitas, pasalnya nilai utamanya adalah menariknya suatu kejadian. Sedangkan yang sifatnya kekinian tidak diutamakan dalam penulisan berita jenis ini.
Menulis berita
Untuk memudahkan menulisnya, semua berita biasa disusun berdasarkan urutan penulisannya, mulai dari bagian judul, lead atau teras/kepala berita alias intro atau pembuka, tubuh (body) berita atau detail, dan penutup alias ending. Pada berita langsung diterapkan model penulisan yang sangat berbeda dengan feature meski strukturnya tak banyak berbeda.
Ibarat bagian buku, judul suatu berita adalah sampul depannya yang menarik perhatian calon pembaca untuk meneliti layak atau tidaknya buku itu dibaca. Atau ibarat toko, maka judul adalah semacam desain eksterior yang menarik minat calon pembeli untuk masuk dan melihat-lihat isi toko.
Karena itu, judul yang baik harus mampu menarik minat calon pembaca hanya dengan sekali lihat, tanpa bersifat menipu atau memanipulasi fakta. Keterbatasan ruang yang biasa disediakan dalam tampilan media massa juga menuntut agar judul dibuat sesingkat mungkin tanpa mengabaikan kepentingan informatifnya.
Setelah calon pembaca buku mulai menelaah lebih lanjut atau calon pembeli memasuki toko, maka adalah tugas lead atau teras berita untuk berfungsi laksana halaman ringkasan isi buku atau etalase toko, yaitu mempertahankan minat pembaca atau pengunjung toko itu untuk tetap menelaah isi buku atau memperhatikan satu per satu barang yang dijual di toko tersebut.
Itu pasalnya, lead yang ideal mampu menyampaikan bagian paling menarik atau penting dari fakta yang diuraikan di dalam tubuh berita sehingga pembaca merasa ingin tetap membaca berita tersebut hingga tuntas. Teras berita perlu pula mengakomodasi kepentingan pembaca yang tak punya cukup waktu untuk membaca seluruh bagian berita, karena itu teras berita harus pula mencerminkan inti informasi yang disampaikan dalam berita tersebut.
Dalam penulisan berita langsung yang menggunakan model penulisan piramida terbalik, unsur layak berita yang paling kuat ditulis menjadi teras berita. Teras berita dapat ditulis dengan kalimat deklaratif dari unsur yang paling penting itu. Dengan demikian, ide atau gagasan pokok yang dikandung paragraf-paragraf setelah paragraf pembuka hanya merupakan penjelasan lebih lanjut dari ide atau gagasan yang termuat pada paragraf lead tersebut.
Mulanya, pola piramida terbalik muncul karena tingginya biaya pengiriman lewat telegram atau telex. Untuk menghemat biaya, pengiriman berita mendadak semacam itu hanya dilakukan terhadap bagian terpenting saja. Pola piramida terbalik juga memudahkan dalam pemotongan berita akibat terbatasnya space.
Sebab kalaupun setelah dipotong, berita itu hanya tersisa satu paragraf maka berita itu tetap bermakna. Dengan membuat paragraf lead yang mampu memberikan informasi maksimal kepada pembaca maka tujuan penulisan berita langsung untuk menceritakan berita secara cepat pun tercapai.
Pada perkembangannya teras berita yang semata-mata mengandung inti pokok berita mulai ditinggalkan. Meski tetap menggunakan struktur piramida terbalik, teras berita juga dituntut untuk mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca sehingga menuntaskan membaca hingga akhir tulisan. Bahkan struktur piramida terbalik itu pun lalu berkembang menjadi struktur piramida bertumpuk.
Fakta-fakta yang disampaikan dalam tulisan dengan struktur piramida terbalik yang bertumpuk itu saling berkait dan sambung menyambung sehingga informasi yang disajikan lewat setiap paragraf dapat memiliki kandungan yang hampir sama penting. Untuk memudahkan pembaca dalam memilah informasi yang disampaikan, digunakan cross head atau sub judul yang terletak di tengah berita. Namun pada perkembangannya, cross head juga difungsikan sebagai pengganjal tampilan halaman.
Sedangkan berita ringan dapat ditulis dengan dua struktur yang berbeda. Pertama, kalau berita ringan itu merupakan sampiran dari peristiwa penting yang disampaikan melalui berita langsung, maka berita ringan ditulis dengan struktur piramida terbalik juga dengan menonjolkan unsur menariknya.
Namun ketika berita ringan ditulis berdasarkan kejadian yang berdiri sendiri, maka prinsip penulisannya tak terikat pada teknik piramida terbalik. Struktur penulisan berita kisah jenis ini lebih bebas. Hal yang menarik, bisa ditempatkan pada bagian tengah tulisan, bahkan bisa pula pada akhir tulisan.
Seperti berita ringan yang didasarkan pada kejadian tersendiri, berita kisah atau feature juga tidak terikat pada struktur piramida terbalik. Meski demikian, urutan struktur berita tetap perlu diperhatikan keberadaannya. Karena cara penulisannya tidak selugas berita langsung, bagian yang paling penting dari berita kisah juga tidak harus diletakkan pada bagian awal berita. Tetapi teras feature tetap mengemban tugas memuat sari informasi sehingga pembaca tertarik untuk mencermatinya.
Setelah teras berita berhasil menggoda perhatian pembaca, maka urutan berikutnya dalam struktur berita itu harus tetap ditangani sehingga feature tetap menarik untuk dicermati. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka informasi dalam feature --seperti juga berita kisah-- bisa disampaikan dengan gaya bahasa prosais, khususnya pada bagian tulisan yang memaparkan suasana.
Menampilkan berita
Jika naskah-naskah berita sudah terkumpul, pengelola penerbitan khusus selanjutnya bertugas menyajikannya melalui tampilan yang menarik. Media yang kering ilustrasi dan hanya dipenuhi jajaran huruf tentu sangat membosankan, sehingga naskah yang bagus sekalipun akan dilewatkan oleh pembaca. Untuk itu, pengelola media perlu menyiapkan foto, gambar ilustrasi atau bahkan vinyet yang sesuai untuk naskahnya.
Tak hanya ilustrasi, tampilan penerbitan khusus juga harus didukung tata letak yang pas. Ulasan mendalam misalnya, dikelompokkan pada satu bagian tertentu dengan satu tulisan utama yang didampingi tulisan-tulisan pendukung dan foto atau gambar ilustrasi. Tabel, denah dan grafik juga bisa mendukung ulasan mendalam itu.
Pengelola penerbitan khusus wajib pula memilih jenis dan ukuran huruf yang tepat sehingga naskah beritanya tak sulit dibaca. Huruf yang kelewat kecil atau dari jenis yang terlalu banyak pernak-perniknya, bisa menyulitkan pembaca dalam mencermati berita. Tetapi variasi jenis huruf, bisa pula dimanfaatkan untuk mencegah kebosanan pembaca. Demikian pula dengan warna tinta yang dipakai.
Untuk menyajikan naskah berita dalam perwajahan halaman yang cantik, pada komputer kini telah tersedia program pengolah kata yang bisa diatur lebar kolomnya. Pada software word processor macam itu biasanya juga tersedia beragam jenis huruf dengan ukuran yang bisa diatur. Dengan bantuan software macam itu, bahkan jarum printer dot matrix bisa menularkan keindahan layar monitor ke stencil sheet.
Tetapi tanpa komputerpun, pengelola penerbitan khusus bisa menyajikan Mading dengan perwajahan menawan. Naskah yang ditulis tangan dengan tinta berwarna-warni sesuai rubrikasi misalnya, bahkan bisa membuat tampilan Mading yang lebih artistik dibandingkan layout dari komputer. Apalagi jika pengelola penerbitan khusus penerbitan khusus kreatif memanfaatkan media pendukung guna memudahkan terkomunikasikannya masalah yang dibahas.
Sebutlah sebagai contoh, untuk ulasan mendalam tentang AIDS dan penyakit menular seksual lain yang harus dihindari oleh remaja, jurnalis putih-biru bisa saja menempelkan selembar kondom pada Madingnya. Kondom tentu bukan barang saru jika dimanfaatkan untuk menjelaskan tentang cara pencegahan penyakit menular seksual. Namun uraian itu tentu juga perlu diimbangi dengan nasihat dari kalangan agamawan dan pakar kesehatan.
Kertas yang telah diwarnai dengan goresan cat air tipis sebelum digunakan sebagai media menyampaikan naskah berita juga bisa diandalkan mengurangi kebosanan pembaca. Demikian juga plastik transparan warna-warni sebagai pelapis naskah yang ditulis di atas kertas putih polos. *
Rahmat Wibisono
wartawan SOLOPOS.